Balada "Pengacung" Cepaka Sibanggede
13 Januari 2025
Admin
Dibaca 8 Kali
Tidak jarang masalah membuat banyak orang lelah dan ujung-ujungnya menyerah. Tapi masalah menuntut kita harus bisa mencari solusi dan berinovasi.
Pengacung bunga cempaka ( cepaka) di Sibanggede salah satu contohnya.
Saat sang Covid 19 mendera negeri ini, petani dan pedagang cepaka di Desa Sibanggede mengalami penurunan permintaan cepaka nyaris sampai dititik nadir. Pasalnya para pekerja saat itu banyak dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja ( PHK ). Sementara pasar mereka juga orang-orang yang bekerja disektor pariwisata.
Dalam kondisi seperti itu para pedagang mencoba keberuntungan dengan cara "mengacung" diseputar lampu pengatur lalu lintas diperempatan ( catus pata ) Desa Sibanggede. Dulu mungkin kita mengenal pedagang acung souvenir didaerah tujuan wisata, tapi sejak beberapa tahun terakhir kita disajikan pemandangan yang mirip, namun barang yang dijajakan bunga cepaka.
Dari segi penghasilan mungkin saja masih bisa menopang pendapatan keluarga mereka. Buktinya sejak tahun 2019 silam sampai saat ini mereka masih tetap eksis bertahan menggeluti profesi sebagai pengacung.
Malam itu waktu sudah menunjukan pukul delapan. Walau bulan tersenyum nampak dilangit, namun dilokasi ngacung suasananya nampak remang-remang. Beberapa pengacung bunga cepaka masih nampak lalu lalang menunggu calon pembeli, baik yang mengendarai sepeda motor maupun yang mengemudi mobil. Dari pengamatan, sepertinya mereka sudah punya wilayah kerja. Ada yang jualan didekat lampu merah dari arah selatan, barat, timur dan utara.
Pengacungnyapun terlihat itu-itu saja pada titik-titik itu.
Mereka sangat cekatan. Begitu lampu merah menyala secepat kilat mereka menawarkan
bunga cepaka yang dibungkus dengan tas kresek yang dibandrol dengan harga beragam dari Rp 5.000 sampai Rp 10.000 perbungkus, sehingga ada pilihan bagi pembeli.Bunga cepaka yang ditawarkan hanya dua warna yakni, putih dan kuning. Dari segi harga, cepaka kuning kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan cepaka putih sehingga harganya pun lebih mahal.
Omset mereka akan naik bila pas ada rerainan dan upacara keagamaan di Pura Sad Kayangan dan Dang Kayangan. Pasalnya, saat-saat seperti itu banyak krama Bali yang muspa kepura berstatus itu membutuhkan bunga, utamanya bunga cepaka sebagai sarana upacara.
Ibu Desi salah seorang pengacung yang sudah cukup lama melakoni profesi ( perintis) ngacung cepaka di Desa Sibanggede ditemui malam itu mengaku bisa mengantongi untung yang cukup membuat dapurnya tetap ngepul.
" Ya syukur saya ngacung begini bisa mendapat hasil yang bisa untuk memenuhi kebutuhan dapur," ujarnya dengan nada penuh optimisme.
Rintik hujan dan teriknya sengatan matahari tidak menjadi penghalangan bagi mereka untuk mengais rupiah.
" Demi rupiah kami pantang menyerah. Kalau hujan kami pake mantel, bila panas kami pake topi,"kilah Bu Eka pengacung lainya dengan senyum kasnya.
Disinggung apa tidak ada rasa persaingan, para pengacung mengaku mereka justru saling membantu dan saling melengkapi." Kalau sudah rejeki tidak akan kemana," ungkap Bu Eka.
Ada benarnya kata tetua kita, rejeki itu ada disetiap jengkal tanah. Asal kita mau bekerja keras,tekun dan konsisten menekuninya. Bekerja membuat kita payah tapi menyerah bukan solusinya. *KIM_ yancan.
Kirim Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin